FBB
KEB

IHB

Hikmah Pandemi, Kebutuhan Pokok Bukan Rokok

Pandemi ternyata tidak mengubah kebiasaan para perokok. Konsumsi rokok tetap meningkat.Perlu ada upaya dan sosialisasi lebih dari pemerintah untuk menekan jumlah perokok di Indonesia.


Januari 2011 adalah waktu yang tidak pernah kami lupakan. Saat itu seorang sodara dekat datang ke rumah kami, di Depok, Jawa Barat. Beliau dapat surat rujukan dari rumah sakit daerah untuk memeriksakan penyakitnya ke RSCM, Jakarta.



kebutuhan pokok vs kebutuhan rokok


Keluhannya adalah beberapa bulan terakhir mengalami suara serak kemudian suara perlahan menghilang. Saat itu, kami benar-benar tidak menyangka ada yang serius dengan penyakit beliau. Usai di cek di RS Cipto, ternyata hasilnya cukup mengejutkan.

Beliau di diagnosis menderita tumor laring, yang menjadi penyebab menghilangnya suara beliau  beberapa bulan terakhir. Jujur, vonis ini agak membuat shock kami sekeluarga tapi tetap berusaha optimis. Atas permintaan beliau, pengobatan selanjutnya tidak di RS Cipto tapi di RS Hasan Sadikin Bandung.

Setelah berbagai pemeriksaan, diputuskan operasi laring kemudian diteruskan dengan penyinaran. Sekitar beberapa bulan kemudian , alhamdulillah, beliau dinyatakan sudah pulih meskipun harus tetap kontrol rutin,  tidak lagi bisa makan secara normal dan tidak bisa lagi berbicara.

Pasca operasi tersebut, beberapa kali lagi beliau harus dirawat di rumah sakit dengan berbagai keluhan. Terakhir, November 2013, beliau mengeluh batuk dan sesak nafas dan harus kembali dirawat di RS Hasan Sadikin Bandung. Diagnosa terakhir adalah penyakit TBC yang sebenarnya masih bisa disembuhkan. Kurang lebih 10 hari dirawat, takdir berkata lain. Beliau akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada usia 63 tahun.

Tahukah kawan-kawan, apa penyebab penyakit beliau? Salah satunya adalah karena beliau adalah  perokok aktif, bahkan sejak muda.

Tetapi penyakit akibat rokok memang baru menyerang beliau ketika berusia 60 tahun-an. Memang, sudah ada takdir dari yang kuasa ketika beliau harus meninggal. Namun, saya bahkan keluarga besar, terus mengingat salah satu penyebab kematian beliau adalah karena rokok.

Rokok memang telah banyak membunuh banyak orang. Data World Health Organization (WHO) dalam pernyataan Hari Tembakau Dunia 2020  menyebutkan ada 225.700 orang di Indonesia setiap tahunnya yang akhirnya meninggal dunia akibat kebiasaan merokok dan beberapa penyakit lainnya yang masih ada hubungannya dengan tembakau.

Penggunaan tembakau di Indonesia setiap tahunnya juga terus meningkat. Khususnya dikalangan dewasa dan remaja. Bahkan perokok remaja pada usia 10-19 tahun di 2013 yang tercatat “hanya” 7,2% meningkat menjadi 9,1% pada 2018 silam.

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat rokok bahkan disebut-sebut tidak sebanding dengan penerimaan cukai hasil tembakau.  Dampak kesehatan yang ditimbulkannya jauh lebih dahsyat. Lembaga sekelas BPJS Kesehatan saja sempat "mengeluh" harus mengeluarkan 28 T untuk mebiayai penyakit akibat kebiasaan merookok. Inilah harusnya yang juga menjadi catatan pemerintah.
 

kerugian akibat rokok
sumber : beritasatu






Sayangnya, kebijakan pengendalian tembakau yang tepat saat ini belum terlihat. Padahal sebentar lagi, pemilihan kepala daerah (Pilkada) kembali di gelar di seluruh Indonesia. Pemerintah yang baru harus didorong untuk semakin peduli dengan kebijakan pengendalian tembakau yang ketat.



Khususnya menekan sedapat mungkin para perokok usia belia terjebak hal yang sama dengan generasi sebelumnya. Harus ada sistem yang bisa #putusinaja urusan rokok ini dan kemudian segera buat kebijakan pengendalian tembakau yang ketat, sementara kita juga mesti berani #putusinaja ketergantungan terhadap tembakau. Tujuan jangka panjangnya tentu saja adalah agar Indonesia tetap memperoleh generasi emas pada 2045.


Kebutuhan Pokok atau Kebutuhan Rokok?


Kebutuhan pokok atau rokok


Di masa pandemi seperti saat ini, rasanya men jadi pertanyaan besar, mengapa kebutuhan rokok tampak setara dengan kebutuhan pokok? Atau pertanyaan lainnya, mengapa disaat ekonomi sulitpun ternyata masih ada yang bela-belain membeli rokok dan mengesampingkan kebutuhan yang lebih penting?

Pertanyaan ini mungkin hanya bisa di jawab oleh para perokok. Yang jelas, para perokok selalu berpikiran, selalu ada rejeki buat membeli rokok. Sehingga walaupun pas-pasan, mereka tetap mengupayakan membeli rokoknya.

Nurul Nadia Luntungan, peneliti CISTI, dalam talk show yang diadakan Kantor Berita Radio (KBR) dan Indonesian Social Blogpreneur (ISB), belum lama ini, via live streaming YouTube, mengatakan jumlah orang yang merokok faktanya lebih banyak daripada yang menggunakan sabu.

Walaupun ujarnya sebenarnya tidak ada yang mau meninggal sesak nafas atau sengaja membunuh anak istrinya melalui rokok.

Diakui Nurul, memang sangat tidak mudah untuk lepas dari jeratan rokok atau nikotin. Karenanya, pihaknya mengadakan therapy untuk perokok secara kelompok. Sebelum berhenti total memang ada tahapan-tahapannya. Kemudian, tambah Nurul,  banyak kasus dimana setelah 3hari sampai dua minggu tidak merokok adalah waktu terberat. Tidak heran mereka bingung mau melakukan apa. "Godaannya sangat berat, " tambah dalam talkshow bertema Pandemi : Kebutuhan Pokok VS Kebutuhan Rokok.

Sementara itu, M. Nur Kasim, ketua RT 001/003 Kampung Bebas Asap rokok dan Covid -9 di  Cililitan Jakarta berhasil menjadikan kampungnya sebagai kampung bebas asap rokok.

Menurutnya, tidak mudah mengajak warganya tidak merokok lagi. Namun, dengan aturan yang ketat, misal tidak boleh merokok dalam rumah, semakin banyak warganya yang tersadarkan.

" Memang tidak bisa sekaligus. Minimal yang tadinya tiga bungkus perhari jadi satu bungkus. Yang satu bungkus bisa tinggal beberapa batang saja dalam seharian, " ujarnya dalam diskusi Radio Ruang Publik  KBR.

Tidak Sekedar Sosialisasi

Perang melawan rokok dan nikotin tentu tidak seperti membalik telapak tangan. Bukan langkah yang mudah. Selain mendorong pemerintah untuk #putusinaja rokok dengan aturan yang lebih ketat tadi, kita sebagai individu juga perlu melakukan berbagai langkah untuk melindungi keluarga khususnya dari rokok.

1. Memberikan pemahaman sedini mungkin kepada anak-anak bahaya rokok.
Mumpung belum terlambar, ingatkan anak-anak bahaya rokok atau contoh kasus penyakit karena rokok. Langkah sederhana ini paling tidak menyelamatkan generasi emas Indonesia.

2. Ajari mereka menggunakan uang lebih produktif.
Membeli rokok, siapapun tahu, adalah cara menggunakan uang dengan tidak tepat. Ajari untuk menabung bahkan bila sudah remaja bisa diajarkan makna uang dan mungkin investasi sederhana.

3. Bila Sudah Terlanjur Jadi Perokok
Selain jangan bosan mengingatkan orang terdekat untuk berhenti merokok, jangan segan untuk menegur mereka yang merokok dalam rumah, menegur mereka yang merokok di angkutan umum dan asapnya kemana-mana.

Terus terang, kalau yang terakhir sering saya beranikan untuk menegur. Apalagi sebelum pandemi dan banyak yang tidak memakai masker.

Akhirnya, semoga saja pandemi membawa berkah. Salah satunya dengan #putusinaja hubungan dengan rokok. Kemudian semakin banyak kesadaran tentang nilai uang, yang harus nya bisa digunakan untuk banyak hal daripada sekadar membeli rokok. #

Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat di sini















Posting Komentar

Terima Kasih sudah berkunjung dan berkomentar dengan baik. Mohon sebutkan nama atau akun google-nya ya

Untuk yang menyertakan link hidup atau tanpa identitas, mohon maaf, komennya tidak akan di ditampilkan :) Terima kasih
Kumpulan Emak Blogger (KEB)
Kumpulan Emak Blogger (KEB)
Female Blogger of Banjarmasin
Female Blogger of Banjarmasin