![]() |
ilustrasi kuliah (foto: sevima) |
Dilarang baper, tulisan berdasarkan pengamatan pribadi saja
**
Menempuh pendidikan S2 memang
cita-cita penulis. Namun cita-cita ini, bisa dikatakan terlambat diwujudkan
karena penulis ingin bekerja dulu. Ibaratnya, mencari uang yang cukup dulu baru
lanjut S2.
Kalau dulu, teman-teman penulis
sendiri, banyak yang lanjut S2 ketika sudah bekerja. Atau paling tidak , S2-nya
sambil bekerja. Namun ternyata saat ini suasananya sudah berbeda.
Bayak sekali, mahasiswa S2 yang
baru saja lulus S1 dan langsung memutuskan lanjut S2. Rata-rata baru saja
memperoleh pekerjaan pertamanya setelah lulus. Bagaimana dengan biaya S2
mereka?
Dari wawancara informal yang
penulis lakukan kepada beberapa teman, ternyata biaya S2nya masih dibiayai
orang tua. Apalagi memang ada tuntutan orang tua buat anaknya melanjutkan S2.
Dan mereka memang menyiapkan dana buat membiayai kuliah anak-anak nya setelah
lulus S1nya.
Beberapa lainnya malah belum
bekerja. Ibaratnya S2 dijadikan pekerjaan baru mereka, daripada nganggur usai
jadi sarjana.
Namun yang menjadi persoalan,
banyak culture shock yang dialami mereka yang terlalu cepat lanjut S2 ini.
Apalagi S2 ternyata sangat berbeda dengan S1.
Salah satu culture shock yang
seringkali dialami mahasiswa yang langsung S2 ini adalah soal metode
pembelajarannya. Di S2, dosen yang terlalu banyak menjelaskan ,bisa dibilang
langka. Yang ada hari-hari penuh diskusi, presentasi dan tugas kebanyakan
mandiri.
Berni mengambil S2 artinya memang
harus berani belajar lebih keras. Ah, masih mending di Indonesia dosen masih
bermental orang lokal, yang tidak terllau keras ke mahasiswanya. Di luar
negeri, kata seorang kawan, tiap awal pembelajaran, langsung dibuka dengan
diskusi.
Kebanyang kan kalau tidak
menguasai atau membaca materi sebelum ikut kuliah.
Culture shock juga dialami oleh salah satu mahasiswa yang
lulus S1 langsung S2. Sebut saja Mawar (23). Meski sempat dipuji salah satu
dosen karena keberaniannya langsung S2, Mawar cukup mengalami culture shock.
Sebenarnya, usai lulus S1, Mawar
ingin sekali berkarir terlebih dahulu di perusahaan lawyer, baru lanjut S2 nya. Ingin santai dulu kalau
istilah dia.
Apalagi tidak ada kepikiran buat berprofesi
jadi dosen, yang memang background pendidikannya minimal S2.
Namun orang tuanya menginginkan
anaknya segera S2. Akhirnya Mawar pun mengikuti keinginan sang ayah. Walau
kelulusannya dari S1 belum sampai setahun.
Culture shock pertama yang
dialami Mawar tentu soal metode pembelajaran tadi. Mawar yang ketika S1
cenderung santai dan tugasnya kelompok, tiba-tiba harus bertemu dosen yang
menjelaskan hanya di awal pembelajaran. Selanjutnya langsung membagi tugas buat
diskusi dan presentasi perorangan.
Tentu mau tak mau harus belajar
lebih keras. Mulai dari mencari referensi, menuliskan makalahnya sampai
menyiapkan presentasi kelas. Meski awalnya terbata-bata, Mawar bisa dikatakan
cukup bisa mengikuti metode perkuliahan barunya ini.
Namun tak semua seperti Mawar,
yang bisa dikatakan cepat belajar. Melati (22) yang juga seangkatan dengan
Mawar ketika S1, cenderung lebih lambat buat adaptasi. Biasa mengerjakan
makalah secara kelompok, tiba-tiba harus membuat tugas mandiri. Cukup
membuatnya kelimpungan.
Sampai suatu saat, makalah yang
dibuatnya acak kadul. Presentasi juga disiapkan seadanya. Bahkan pernah
dalam suatu kesempatan, lupa mencantumkan daftar pustaka di makalah yang
dibuatnya !
Namun tak hanya itu. Culture
shock lain yang dialami mahasiswa S2 adalah soal perjurnalan. Memang tak semua
dosen mengharuskan publikasi jurnal, namun bisa dikatakan 90 persen dosen,
mewajibkan buat publikasi jurnal. Bahkan jurnal juga jadi syarat buat ujian
tesis.
Jurnal ilmiah tentu tak bisa
seenaknya. Selain harus menuliskan dengan baik, runtut dan logis, penulis
jurnal juga harus mampu mencari jurnal yang tepat.
Yang tentu sesuai dengan bidang
keilmuannya. Ditambah harus bisa menyiasati soal waktu. Ada deadline kapan
naskah harus masuk ke jurnalnya, tambah berbagai revisi sebelum jurnalnya
terbit. Belum lagi harus membayar sejumlah dana, untuk publikasinya. Intinya
tiba-tiba sibuk urusan perjurnalan.
Yah, intinya akan banyak drama
lagi yang akan ditemui bila lanjut S2.
Buat anak S1 yang baru saja lulus
dan belum sempat melihat dunia yang lebih luas, tetap semangat saja. Jangan
mudah menyerah dan jangan mau kalah dari para senior.Percayalah, siapa yang
bekerja keras, pasti menemukan hasil terbaiknya. Siapapun dia.
Posting Komentar
Untuk yang menyertakan link hidup atau tanpa identitas, mohon maaf, komennya tidak akan di ditampilkan :) Terima kasih